TRIPOLI - Kantor misi diplomatik AS di Benghazi, Libya, diserang pada malam hari, namun tidak ada korban, kata sejumlah sumber keamanan dan kedutaan, Rabu (6/6/2012).
"Terjadi serangan larut malam kemarin terhadap kantor AS di Benghazi," kata seorang pejabat Kedutan Besar AS, dengan menambahkan bahwa hanya pintu gerbang yang rusak dan tidak ada korban.
Ia menyatakan, bom rakitan digunakan dalam serangan terhadap Konsulat AS itu, yang dibangun setelah pemberontakan 2011 terhadap Moammar Khadafy dan tetap dibuka untuk membantu peralihan demokratis di Libya.
"AS mengecam serangan terhadap misi diplomatiknya di Benghazi," kata pejabat itu, dengan menambahkan bahwa permohonan telah diajukan kepada pihak berwenang Libya agar meningkatkan pengamanan pada fasilitas-fasilitas AS di negara Afrika utara tersebut.
Menurut pejabat AS itu, belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun, seorang pejabat keamanan di Benghazi mengatakan, serangan itu diklaim oleh Kelompok Tahanan Omar Abdelrahman, yang meninggalkan sepucuk surat "yang mengancam kepentingan AS" di Libya.
Pada 22 Mei, kelompok itu mengklaim serangan terhadap kantor Komite Internasional Palang Merah,
Serangan terhadap misi AS itu dilakukan setelah kematian Abu Yahya al-Libi, tokoh propaganda Al Qaeda dan seorang warga negara Libya yang menjadi sasaran serangan pesawat tak berawak AS di Pakistan.
Juru bicara Dewan Transisi Nasional (NTC) yang berkuasa di Libya mengatakan, pihak berwenang berusaha memperoleh informasi lebih lanjut dan mengutuk serangan tersebut. "Kami mengecam aksi ini," kata Mohammed al-Harizi.
NTC memelopori pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah Khadafy tahun lalu.
Selama konflik, dewan itu mengatur permasalahan kawasan timur Libya yang dikuasai pemberontak dan melobi keras untuk pengakuan diplomatik dan perolehan dana untuk mempertahankan perjuangan berbulan-bulan dengan tujuan mendongkel kekuasaan Khadafy.
Negara-negara besar yang dipelopori AS, Prancis dan Inggris membantu mengucilkan Khadafy dan memutuskan pendanaan dan pemasokan senjata bagi pemerintahnya, sambil mendukung dewan pemberontak dengan tawaran-tawaran bantuan.
Libya era Khadafy digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada 17 Maret 2011.
Sebanyak 21 kapal NATO berpatroli aktif di Laut Tengah sebagai bagian dari penegakan embargo senjata terhadap Libya pada saat itu.
Aliansi 28 negara itu sejak 31 Maret 2011 juga memimpin serangan-serangan udara terhadap pasukan darat rezim Khadafy.
Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Khadafy, yang membuat marah Barat.
Khadafy, pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa dan bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak, diumumkan tewas oleh kelompok pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) pada Oktober 2011 lalu.
Keresahan internasional meningkat berkaitan dengan ketidakjelasan seputar kematian Khadafy yang tampaknya dieksekusi, setelah kota asalnya Sirte dikuasai pasukan NTC pada 20 Oktober.
Sejumlah pihak, termasuk Ketua Komisi HAM PBB Navi Pillay, menyerukan penyelidikan untuk mengetahui kebenaran seputar kematian orang kuat Libya itu.
Sumber : KOMPAS.com
0 comments:
Post a Comment