Jakarta - Korupsi memang harus dihukum seberat-beratnya. Namun bukan berarti hakim tidak boleh mempertimbangkan banyak aspek dalam memutus perkara korupsi.
"Hakim harus lebih jeli dan bijak dalam memutuskan perkara," pinta peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Jamil Mubarok, saat dihubungi, Jumat (8/6/2012).
Pernyataan Jamil adalah untuk menanggapi kasus Herlina Koibur yang divonis 4 tahun penjara karena melakukan korupsi Rp 3 juta di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori, Papua. Karena merasa tidak adil, ia pun meengajukan gugatan ke MK.
Herlina pada dasarnya tidak keberatan karena sudah diputus bersalah melakukan korupsi. Namun dia merasa tidak adil, karena banyak koruptor lainnya yang jumlahnya lebih besar, seringkali justru dihukum ringan.
Pasal yang menjadi sorotan Herlina ada Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi.
Jamil menjelaskan, pasal itu memang tidak mengatur batasan materi yang bisa dijerat. Ia pun berharap, hakim bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Sementara itu, menurut anggota DPR Komisi III, Martin Hutabarat, wajar memang setiap orang merasa tidak puas dengan putusan hakim. Itulah yang membuat orang seringkali mengambil langkah banding, bahkan hingga tahap Peninjauan Kembali (PK).
"Wajar saja jika orang mencari keadilan dalam putusannya," jelas Martin.
Namun ia yakin, setiap hakim pasti sudah memiliki pertimbangan sendiri dalam memutuskan perkara. Setiap pihak hendaknya bisa menghormati putusan yang dikeluarkan hakim.
"Setiap hakim memiliki kebebasan tersendiri dalam menentukan putusan. Jika putusan itu berdasarkan nurani, kita harus memahami. Namun lain hal jika ada sesuatu di balik putusan itu," tandasnya.
Sumber : detik.com
0 comments:
Post a Comment