Your Ad Here

Saturday, June 9, 2012

Akademisi: Kahar Muzakkar Bukan Pemberontak

Akademisi: Kahar Muzakkar Bukan Pemberontak
MAKASSAR - Apapun interpretasinya, kata 'pemberontak' ternyata menjadi sensitif di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel).

Hal yang tidak bisa di pungkiri, Sulsel pernah diwarnai aksi pemberontakan yang dialamatkan kepada ketua Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakkar pada era1950-an.

Buktinya, setelah bakal calon gubernur incumbent Sulsel Syahrul Yasin Limpo menggaungkan ajakan melawan pemberontak, timbul reaksi kecaman dari berbagai kalangan.

Ajakan Syahrul yang juga ketua pengurus daerah (PD) Forum Komunikasi Keluarga Putra Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) Sulsel, terlontar saat membuka rapat pimpinan daerah (rapimda) FKPPI XIX di baruga Sangiaseri, rumah jabatan gubernur di Makassar, kemarin.

Munculnya kecaman, bukan tidak mungkin lantaran kuatnya kepercayaan mayoritas masyarakat Sulsel, bahwa sosok Kahar bukan lah pemberontak. Alasan itu dibenarkan oleh dosen Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Latif.

"Kahar Muzakkar bukan lah pemberontak. Kahar tidak pernah punya keinginan keluar dari Indonesia. Makanya, gerakannya disebut Negara Islam Indonesia, ada kata Indonesia-nya," ujar Latif, Sabtu (9/6/2012).

Kahar, lanjutnya, tetap setia kepada Indonesia dan sila Pancasila, karena ia memperjuangkan Islam. Itulah cara Kahar memperjuangkan gagasan, dan mendapat simpati rakyat Sulsel, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.

"Dulu dibentuk tentara teritorium tujuh, panglimanya adalah Alex Kawilarang. Panglima Kawilarang tidak disetujui masyarakat Sulsel. Rakyat Sulsel terus menolak Alex yang juga orang Manado," papar Latif.

Karena orang Sulsel tidak setuju Kawilarang sebagai panglima, Kawilarang meminta Kahar datang ke Sulsel untuk membujuk mereka.

Kahar dipercayakan Kawilarang, karena saat itu merupakan militer senior di Bugis-Makassar. Bisa diblang, Kahar Muzakkar adalah 'neneknya militer' di Sulsel.

Nama-nama seperti Andi Sose dan Andi Selle, adalah didikan Kahar di era militer kesatuan (sebelum DI/TII dibentuk). Kahar diminta mengarahkan rakyat Sulsel agar mematuhi Panglima Kawilarang. Kahar saat itu diberi pangkat Letnan Kolonel.

"Ketika Kahar datang ke Sulsel untuk menemui hampir semua pimpinan pejuang di Sulsel, Kahar menerima aspirasi rakyat Sulsel agar diberi posisi di dunia kemiliteran. Ada juga yang mau jadi pengusaha," jelas Latif.

Namun, aspirasi masyarakat Sulsel yang dijinjing Kahar, ditolak oleh Kawilarang. Kawilarang tidak mau menerima kemauan orang Sulsel.

Kahar selaku perwakilan Sulsel, saat itu berjuang meminta kepada Kawilarang agar menerima keinginan warga sekampungnya, Tapi, lagi-lagi ditolak Kawilarang.

Lantaran Kawilarang ngotot menolak aspirasi masyarakat Sulsel, Kahar kemudian meninggalkan Kawilarang. Kahar memilih pulang kampung halamannya bersama rakyat Sulsel. Ia masuk hutan untuk memperjuangkan rakyat Sulsel.

Kahar memimpin langsung pejuang di hutan dengan membentuk kesatuan militer belum DI/TII. Saat Kahar membentuk kesatuan militer, masyarakat Sulsel ramai-ramai bergabung, seperti Andi Sose (pemilik Universitas 45 Makassar) Andi Selle, dan Makatang Dg Sibali.

Tapi, pada 1952 ,sejumlah anggota basis Kahar seperti Andi Sose dan Dg Makatan, berminat masuk TNI. Dari situ, Kahar menerima kemauan rekannya.

Kemudian, Kahar mengubah formasi kesatuan militernya. Pada 1952, lapis pertama pertahanan Kahar banyak yang masuk TNI. Jadi, Kahar mengubah kesatuan militernya menjadi Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

"Hal yang perlu digarisbawahi waktu Kahar membentuk DI/TII, tidak ada fakta bahwa Kahar mendiskreditkan agama lain," terang Latif.

Justru, tuturnya, kehadiran DI/TII juga melindungi agama non-Islam. Bahkan, non-Islam banyak yang bergabung.

"Saya mau katakan, ideologi Kahar adalah bagian dari Pancasila. Jadi, kalau ada sebutan pemberontak, bukan zamannya lagi, situasi sekarang berbeda," beber Latif.

Sumber : TRIBUNNEWS.COM

0 comments:

Post a Comment